This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 17 Juni 2012

Promosi Lesbi Irshad Manji



Sejumlah pihak, termasuk Irshad Manji, sempat membantah bahwa buku Irshad Manji, Allah, Liberty, and Love tidak mempromosikan lesbianisme. Setelah saya telaah, ternyata itu tidak benar!

Bisa dilihat pada bab tiga berjudul “Budaya Itu tidak Sakral”. Berarti Manji berbohong ketika dia mengatakan bahwa bukunya bukan tentang homoseksualitas.

Salah satu bentuk kebebasan yang dibela Manji adalah kebebasan untuk menjadi lesbi. Menurutnya, penentangan terhadap homoseksualitas adalah penentangan budaya, bukan agama. Manji menyebutnya budaya tribal (pri mitif) dan dia menggunakan istilah Islamo-tribalis. Selain homoseksualitas, jilbab pun disebut Manji sebagai budaya primitif, bukan ajaran Islam. Karena, budaya itu tidak sakral maka lawanlah! Begitu kata Manji.

Sebenarnya, banyak hal yang bisa diajukan untuk membantah argumenargumen Manji yang menurut saya sangat emosional, sekadar cletak-cletuk, protes sana-sini, dan menggeneralisasi banyak hal. Di sini akan dibahas salah satu saja, terkait homoseksualitas. Misalnya, Manji mengutip surat curhat seorang lesbi bernama Bushra yang merasa bersalah (dan mengira dirinya akan masuk neraka Jahanam), tersiksa oleh lingkungan, dan dipaksa menikah dengan laki-laki.

Manji, yang mengaku bukunya bukan tentang homoseksualitas itu, menulis begini, “Umat Muslim, siapa di antara kalian yang mau bergabung denganku untuk meyakinkan Bushra bah wa Sang Mahakuasa menciptakannya sesuai pilihan-Nya? Siapa yang mau menjelaskan kepadanya bahwa dengan melawan budaya penyelamatan maka kita berkontribusi pada budaya penyelamatan iman?” (hal 135-136).

Manji menyerukan kaum Muslim untuk menolak otoritas agama dalam soal penafsiran Alquran. Katanya, “Mari lakukan itu dengan menolak kecenderungan tribal dan bersuara sebagai individual. Bersuaralah yang kencang. Jangan khawatirkan kemarahan dari otoritas agama. Protes kita adalah dengan budaya mereka, bukan Pencipta mereka.” (hal 130).

Manji menulis lagi, “Tidak sedikit Islamo-tribalis, kuduga, yang akan men coba mengalihkan perhatianmu de ngan berteriak tentang ‘Agenda gaynya Manji’ dan berkoar-koar bahwa Alquran secara jelas menyatakan homoseksualitas itu dosa. Jika aku boleh menawarkan pemikiran lebih jauh, lanjutkan me ngutip surah 3:7.” (hal 131-132).

Itulah upaya dekonstruksi makna Alquran oleh seorang lesbi bernama Irshad Manji. Alquran surat Ali Imran [3] ayat 7 berbicara tentang ayat mutasyabihat dan muhkamat. Jadi, dalam Alquran ada ayat yang bisa langsung dipahami artinya (muhkamat), ada ayat yang perlu penafsiran (tapi Manji menyebutnya ‘ambigu’).

Dengan ayat ini, Manji menafsirkan bahwa kisah kaum Luth yang dimurkai Allah itu termasuk ayat mutasyabihat sehingga bisa ditafsirkan dengan berbagai cara, tapi hanya Allah yang tahu mana penafsiran yang paling benar. Karena itu, sesama manusia tidak boleh menghakimi penafsiran orang lain.

Dikatakannya, “Cerita So dom dan Go morah—kisah Nabi Luth dalam Islam—tergolong tersirat (ambigu). Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi sebetulnya bi sa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambaran atas kekuasaan dan kontrol.
Tuhan menghukum kaum Nabi Luth karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar. Perkosaan antara pria bisa jadi merupakan dosa disengaja ( the sin of choice) untuk menimbulkan ketakutan di kalangan pengembara. Aku tidak tahu apakah aku benar. Namun, de mikian menurut Alquran, kau pun tidak bisa yakin apakah kau benar. Nah, kalau kau masih terobsesi untuk mengutuk homoseksual, bukankah kau justru yang mempunyai agenda gay? Dan, sementara kau begitu, kau tidak menjawab pertanyaan awalku: Ada apa dengan hatimu yang sesat?” (hal 133).

Manji menafsirkan kisah kaum Nabi Luth dengan sesuka hatinya, lalu berkata, “Aku tidak tahu apakah aku benar. Namun, demikian menurut Al quran, setiap manusia memang tidak bisa mencapai kebenaran karena— berdasarkan QS 3:7—hanya Allah yang tahu mana yang paling benar.” Sebenarnya, jawaban terhadap pertanyaan Manji itu sudah dijelaskan oleh para mufasir. Bahwa, yang mampu memahami ayat-ayat mutasyabihat adalah orang-orang mendalam ilmunya dan tentu Allah SWT. Itulah para mufasir yang memiliki otoritas dalam keilmuan dan akhlak mulia.

Jadi, kalau ada ayat mutasyabihat, merujuklah pada kitab-kitab tafsir yang sudah ditulis para ulama yang mumpuni. Itulah gunanya ada orang yang menuntut ilmu agama secara mendalam. Dalam dunia keilmuan, sudah lazim dikenal adanya otoritas. Tidak semua orang bisa bicara seenaknya, tanpa hujah dan tanpa ilmu. Dan, inilah fenomena yang banyak terjadi di sekitar kita. Untuk urusan agama, banyak yang merasa bebas bicara, bahkan berhak menafsirkan ayat Alquran semaunya. Tapi, kalau untuk bidangbidang lain, seperti ekonomi, politik, dan lain-lain dikatakan, “Kita harus dengarkan pendapat pakar!”

Manji juga membela—katanya— hak orang menjadi homo atau lesbi. Jika dia menjadi lesbi sendirian, mung kin tak masalah sebab orang tidak ta hu. Tapi, menularkan lesbianisme ke pa da orang lain, itu menjadi masalah besar. Homoseksualitas itu bukan ge netis (atau “ciptaan” Tuhan), melainkan “ditularkan” oleh lingkungan. Peneliti an yang dilakukan oleh Paul Cameron Ph D (Family Research Institute) menemukan bahwa di antara penyebab munculnya dorongan untuk berperilaku homo adalah pernah disodomi waktu kecil (dan parahnya, perilaku menyodomi anak kecil menjadi salah satu “budaya” kaum homo). Dan juga, pengaruh lingkungan, yaitu: (1) Subkultur homoseksual yang tampak/terlihat dan diterima secara sosial, yang mengundang keingintahuan dan me numbuhkan rasa ingin mengeksplorasi (ingin mencoba), (2) pendidikan yang prohomoseksual, (3) toleransi sosial dan hukum terhadap perilaku homo seksual, (4) adanya figur yang secara terbuka berperilaku homoseksual, (5) penggambaran bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang normal dan bisa diterima.

Penelitian Cameron juga menunjukkan bahwa kecenderungan homo seksualitas bisa disembuhkan, antara lain, melalui pendekatan diri kepada Tuhan. Selain itu, dari sisi kesehatan, perilaku homoseksual juga berdampak sangat buruk bagi pelakunya. Lengkapnya bisa dibaca di sini: http://www.biblebelievers. com/Cameron3.html.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Irshad Manji punya dua kesalahan: kesalahan individual dan kesalahan sosial. Para penggiat homoseksualitas dan lesbianisme itu sedang berusaha menyebarkan dogma bahwa perilaku mereka baik-baik saja, sudah dari “sana”-nya, dan—kalau versi Manji— tidak dilarang Allah!

Karena itu, seorang Muslim, Kita berhak resah bila propaganda homoseksualitas dan lesbianisme semakin merajalela atas nama kebebasan akademis dan kebebasan bicara. kita merasa perlu mencegah agar anak-anak kita, saudara2 kita, dan masyarakat umum tidak tumbuh dalam budaya yang prohomo dan lesbi. Karena itu, saya mendukung pelarangan diskusi atas buku Manji atau propaganda homoseksualitas dalam bentuk apa pun, termasuk konser Lady Gaga

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites