This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 24 Desember 2011

Homoseksual dan lesbi dalam prespektif Islam : sebagai jawaban ibu musdah


Homoseksual dan Lesbian dalam Perspektif Fikih

Ahad, 25 Desember 2011

-“Kurang sah, jika tak nyeleneh.” Kalimat ini, barangkali tepat untuk dikatakan pada para aktivis gerakan Islam Liberal. Sikap nyeleneh itu, paling tidak disampaikan oleh Dr. Siti Musdah Mulia --yang katanya-- guru besar UIN Jakarta baru-baru ini.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan di Jakarta hari Kamis 27 maret 2008 lalu dan di Cirebon IAIN SYekh Nurjati 24 Des 2011 kemarin, tiba-tiba ia mengeluarkan pernyataan bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah kelaziman dan dibuat oleh Tuhan, dengan begitu diizinkan juga dalam agama Islam., . Tak hanya itu, Siti Musdah melanjutkan bahwa sarjana-sarjana Islam moderat mengatakan tidak ada pertimbangan untuk menolak homoseksual dalam Islam, dan bahwa pelarangan homoseks dan homoseksualitas hanya merupakan tendensi para ulama.

Bagi sebagian kalangan, sebenarnya tidak ada yang baru dari pernyataan para aktivis liberal seperti Siti Musdah ini. Ia hanyalah pengulangan pemikiran teman-temannya di komunitas JIL (Jaringan Islam Liberal). Sekalipun isu atau wacana, yang dilontarkan berbeda tetapi gayanya hampir persis sama. Yang membuat ia berbeda adalah jarak rambahnya yang begitu jauh.

Beriringan dengan penghinaan dan penistaan media masa Barat terhadap Nabi Muhamad dan umat Islam. Isu yang disampaikan Musdah juga digulirkan oleh kaum Kristen dan Yahudi sekular-liberal Barat seperti di Belanda, Belgia dan Spanyol.

Sekalipun tulisan ini tidak bermaksud mengaitkan atau menghubungkan kepentingan-kepentingan antara JIL nya Siti Musdah dengan Barat, tetapi kita patut bertanya, ada apa dibalik ini semua?

Sebenarnya, apa yang disampaikan Musdah hanyalah “membeo” Frank Van Dalen Ketua organisasi kaum homoseksual Belanda (COC) atau Boris Van Der Ham anggota parlemen dari partai sosial liberal Belanda yang menuntut persamaan hak para gay dan lesbian. Mereka juga mengecam gereja.

Yang mengherankan juga adalah antusiasme yang berlebihan untuk membela wacana tersebut di tengah “usaha” segelintir orang yang tergabung dalam komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) untuk menuntut penyetaraan HAM, keadilan dan anti-diskriminasi.

Luth, Bible dan Sejarah Peradaban

Kalau kita telaah sejarah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah muncul jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada masa Nabi Luth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut ketika menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth.

Allah berfirman: “Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” [QS Al-A’raf:80-84].

Allah menggambarkan Azab yang menimpa kaum nabi Luth : “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]

Semua ayat di atas secara jelas mengutuk dan melaknat praktik homoseksual karena bertentangan dengan kodrat dan kenormalan manusia.

Perlu diingat, sikap keras melaknat itu bukan hanya pada Islam. Namun juga pada agama Kristen.

Praktik homoseksual juga menjadi momok yang menakutkan di agama Kristen. Bibel menyebutnya sebagai ibadah kafir yang lazim dikenal dengan nama “pelacuran kudus”. Ia sangat mengutuk dan mengecam pelakunya karena itu bertentangan dengan moral.

Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27, Rasul Paulus mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang-orang kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus.

Dalam Imamat 20:13 berbunyi: ”Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”. Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati.

“Hombreng” dan Fikih

Dalam khazanah keilmuan islam khususnya fikih, praktik homoseksual dan lesbian –sering diplesetkan sebagai kaum “hombreng” mudah dicari rujukannya. Kelainan seksual yang dalam Islam ini sering disebut al faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat dan tabiat manusia. Oleh karenanya para ulama sangat mengutuk, mengecam dan mengharamkannya.

Kalau ditelusuri secara gramatikal (bahasa) tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al liwath. Pelakunya di namakan al luthiy (lotte). Namun Imam Al-Mawardi membedakannya. Beliau menyebut homoseksual dengan liwath dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. (lihat : al hawi al kabir karya al mawardi : juz :13 hal : 474-475)

Ibn Qudamah Al Maqdisi menyebutkan bahwa penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah Ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits. [al mughni juz :10 hal : 155].

Imam Al Mawardi berkata, “Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi Ijma’ dan itu diperkuat oleh Nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits.” [Kitab Al hawi al kabir, juz :13 hal : 475]

Mereka dalam hal ini berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Itu timbul karena perbedaan dalam meng-interpretasi dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadits dan Atsar (Fakta sejarah sahabat).

Ayat-ayat di atas (Al A’raf : 80-84 dan Hud : 77-83) secara jelas berisi kutukan dan larangan Allah SWT terhadap pelaku praktik homoseksual. Itu juga diperkuat oleh hadits-hadits berikut:

Hadits riwayat Ibn Abbas : “Siapa saja yang engkau dapatkan mengerjakan perbuatan homoseksual maka bunuhlah kedua pelakunya”. [ditakhrij oleh Abu Dawud 4/158 , Ibn Majah 2/856 , At Turmuzi 4/57 dan Darru Quthni 3/124].

Hadits Jabir: “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]

Hadits Ibnu Abbas: “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337]

Perbedaan atsar (penyikapan, baik dengan kata atau perbuatan) para sahabat adalah dalam menentukan jenis hukuman yang dikenakan kepada pelaku. Diantara perbedaannya adalah; membakarnya dengan api, menindihnya dengan dinding, dijatuhkan dari tempat yang tinggi sambil menimpuknya dengan batu, ditahan di tempat yang paling busuk sampai mati.

Para ulama fikih setelah menyepakati haramnya praktik homoseksual dan lesbian, mereka hanya berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada pelaku. Perbedaan hanya menyakut dua hal; Pertama: perbedaan sahabat dalam menentukan jenis hukuman, sebagaimana tersebut di atas. Kedua: perbedaan ulama dalam mengkategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina atau tidak? Dan itu berimplikasi terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan.

Ulama dan hukuman

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat : praktik homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan: Pertama: karena tidak adanya unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktik homoseksual. Kedua: berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas). Berdasarkan kedua alasan ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah). [al hidayah syarhul bidayah 7/194-196, fathul qadir juz : 11 hal : 445-449 dan al mabsuth juz :11 hal : 78-81]

Menurut Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) : praktik homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: Pertama, tersalurkannya syahwat pelaku. Kedua, tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur). Ketiga, tidak diperbolehkan dalam Islam. Keempat, menumpahkan (menya-nyiakan) air mani. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibn Al Hasan dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), kalau gair muhshan (bujang), maka dihukuman cambuk dan diasingkan selama satu tahun. [dalam al hidayah syarhul bidayah 7/194-196, fathul qadir juz : 11 hal : 445-449 dan al mabsuth juz :11 hal : 78-81]

Menurut Imam Malik praktek homoseksual dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi. [minahul jalil, juz : 19 hal : 422-423]

Menurut Imam Syafi’i, praktik homoseksual merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, An Nakha’I, Al Hasan dan Qatadah. [al majmu’ juz : 20 hal : 22-24 dan al hawi al kabir, juz : 13 hal : 474-477]

Menurut Imam Hambali, praktik homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu muhshan atau gair muhshan. [al furu’, juz :11 hal : 145-147, al mughni juz : 10 hal : 155-157 dan al inshaf juz : 10 hal : 178]

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa di antara landasan hukum yang mengharamkan praktik homoseksual dan lesbian adalah Ijma’. untuk mengetahui lebih jelas peran Ijma’ dalam menentukan suatu hukum, kita akan membahasnya secara sederhana.

Ijma’ Sebagai Konsep Hukum

Kalau kita telaah referensi-referensi yang menjadi sumber dasar penetapan hukum Islam, maka di antara instrument hukum tersebut adalah Ijma’. Posisi kekuatannya sebagai sumber hukum menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah. Ijma’ lahir dan muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid (ahli ijtihad) setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu kasus hukum dalam suatu masa.

Jadi yang menentukan suatu hukum sudah menjadi Ijma’ atau belum adalah para mujtahid (ahli ijtihad) yang berkompeten dalam bidangnya. Dus, bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang memiliki syarat-syarat baku yang mendukungnya untuk memahami nash-nash (Al-Quran dan As-Sunah) dan mengaitkannnya dengan realita, seperti menguasai ilmu-ilmu seperti bahasa Arab, maqasidus syari’ah, fikih dan ushul fikih, ilmu tafsir dan lain sebagainya disebutkan dalam ushul fikih.

Sekalipun pintu ijtihad selalu terbuka, tetapi untuk urusan hukum, tidak semua orang bisa mengklaim dirinya mujtahid atau menganggap siapa saja boleh berijtihad. Apalagi merubah hukum yang sudah pasti kebenarannya.

Haramnya homoseksual dan lesbian ini, sudah menjadi Ijma’ (ketetapan ) ulama Islam. Artinya, tak ada diantara mereka yang berselisih. Jadi, tidak ada seorang ulamapun yang berpendapat tentang kehalala nya. Dan itu sudah menjadi ketetapan hukum sejak masa Nabi, sahabat sampai hari kemudian. Jadi tidak bisa diotak- atik –apalagi-- dengan justifikasi rasional.

Islam meyakini bahwa segala perintah dan larangan Allah –baik berupa larangan atau perintah—tak lain bertujuan untuk menciptalan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Hatta, termasuk tujuan pelarangan praktik homoseksual dan lesbian yang dimaksudkan untuk memanusiakan manusia dan menghormati hak-hak mereka.

Sangat terlalu lengkap --kalau tidak boleh disebut kaya-- hanya untuk menelusuri haram dan tidaknya soal homoseksual dan lesbian dalam Islam. Masalahnya agak aneh, jika doktor UIN seperti Musdah Mulia melewatkan begitu saja. Jikapun beliau tidak paham --mungkin karena keterbatasannya dalam ilmu fikih-- lebih tepat sekiranya agak berhati-hati. Masalahnya, mengapa begitu memaksakan diri? lantas ada apa dibalik itu? Wallahu a’lam

ditulis oleh : AL-Faqir Hamba Allah, S.Psi

, S.Psi

Natal dan Tahun Baru Syi'ar Agama Kafir, Umat Islam Jangan Ikut-ikutan




Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Esa. Shalawat dan salam kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah, serta keluarga dan sahabat beliau.

Setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun. Dan Allah mengetahui kecenderungan yang ada dalam diri manusia ini, karenanya Dia memberi petunjuk untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, dan ibadah kepada Allah.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, "Dua hari apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari yang kami bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya pada masa Jahiliyah." Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita." (HR. Bukhari).

Dua hadits ini menjadi dalil bahwa hari raya umat Islam hanya dua tersebut. Berbeda dengan hari raya selainnya, baik yang bersifat keagamaan, kenegaraan, atau duniawi.

Banyak sekali nas syar'i yang menerangkan karakteristik umat ini yang berbeda dengan umat, agama, dan kelompok lainnya, agar menjadi umat terbaik. Yaitu umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menjadi rasul terakhir dengan kitab suci al-Qur'an.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Dalam hadits Mu'awiyah bin Haidah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian yang terbaik dan paling mulia di mata Allah 'Azza wa jalla." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Beliau bersabda lagi, "Penghuni surga ada 120 baris. Sedangkan umat ini sebanyak 80 barisnya." (HR, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Namun kenyataannya, pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi'ar agama Kristen. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman yang benar dan lemahnya ikatan aqidah mereka. Sehingga mereka terkadang ikut-ikutan dengan budaya dan tradisi orang kafir, antara lain:

Saling mengucapkan selamat hari raya Natal, saling kirim kartu lebaran baik melalui pos atau internet.
Ikut serta memeriahkan hari Raya Natal di gereja, hotel, gedung serba guna, atau melalui media elektronik.
Membeli pohon natal dan memasang patung Sinterklas (Santa Claus) yang katanya mencintai anak-anak dengan membagi-bagikan hadiah sejak malam Natal hingga malam tahun baru.
Bermaksiat, melakukan kejahatan, dan mabuk-mabukan pada malam tahun baru serta bentuk-bentuk lainnya.

Hari raya Natal dan tahun baru tidak boleh dijadikan sebagai hari yang dirayakan oleh umat Islam, dengan dua alasan: Pertama, mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandang sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan lainnya.

Kedua, mengandung nilai kefasikan, berbuat seenaknya, berakhlak seperti binatang yang tak pantas ditiru manusia, terlebih oleh orang beriman.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat tegas melarang ritual seperti ini. Dalam hadits shahih disebutkan, ada seseorang bernazar di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak”, beliau bersabda: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?.” Mereka berkata : “tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain).

Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash Radhiyallahu 'Anhu, beliau berkata:

مَنْ بَنَى بِبِلاَدِ الأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (Sunan al-Baihaqi IX/234). [PurWD/voa-islam.com]

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites