This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 23 Juni 2011

Pemberian

Pemberian

Seorang pria pergi ke rumah temannya untuk silaturahmi. Dia tinggal selama beberapa hari yang indah bersama rekannya. Ketika waktunya pulang, temannya memberi seekor kuda sebagai hadiah. Pria itu sangat gembira.

Sepuluh hari kemudian, pria itu mengembalikan kuda hadiah. ''Apa yang terjadi,'' kata temannya yang memberi kuda.

''Entah, saya berencana melakukan perjalanan ke berbagai kota. Tapi kuda ini hanya mau ke sini.''

''Oh, begitu. Kuda itu memang lahir dan besar di sini. Dia pasti sangat mengenali dan mencintai kampung ini dan segala sesuatu yang berada di rumahku. Aku paham. Tapi ingat, aku telah memberikannya kepadamu. Bawa ia ke mana engkau pergi.''

''Terimakasih, aku sungguh senang.''

Pria itu lantas menginap lagi beberapa hari untuk mempelajari lingkungan dan perilaku kuda hadiahnya itu. Merasa cukup belajar, ia pun pergi lagi.

Sepuluh hari, terulang lagi. Ia kembali ke rumah temannya membawa kuda. Temannya sekali lagi menyambut gembira dan mengizinkan ia menginap dan memberinya makan. ''Apa lagi ini'' kata temannya itu.

''Sama seperti dulu. Saya pergi ke beberapa kota dan menginap beberapa hari. Sampai di kota ke tiga, kuda ini mengamuk dan berlari lagi ke sini. Aku tak bisa melakukan apa-apa.''

Pemilik rumah memahami apa yang dibutuhkan pria temannya itu. ''Biar aku ajarkan kau mengendalikan kuda itu,'' katanya.

Selama satua bulan, pria itu belajar mengendalikan kuda. Setelah itu ia pergi dan tak kembali lagi.

Saat melepas kepergian pria itu, istri pemilik kuda bertanya. ''Mengapa engkau lakukan semuanya. Engkau telah memberinya hadiah dan rela pula mengajari cara mengendalikan kuda itu. Bahkan ia menginap cukup lama di rumah kita.''

Pemilik kuda itu menjawab,'' Kamu dapat memberi hadiah. Tapi ada kemungkinan orang yang kamu beri hadiah tak tahu cara menggunakannya. Supaya benda itu berguna, kamu harus memberitahu cara memakainya. Itu tanggung jawab kita.''

Dengan cara yang sama, Tuhan memberi otak untuk berpikir. Tapi tak semua manusia tahu cara menggunakannya secara tepat. Karena itu Dia bertanggung jawab untuk mengirim utusan supaya kuda itu tak mengakibatkan bencana.

Seorang pria dan sepotong kuku

Seorang pria terlibat percakapan dengan sepotong kuku. ''Aku sering menduga-duga, takdir apa gerakan yang akan terjadi setelah bertahun-tahun melekat di sini,'' kata kuku.

Pria itu kemudian menyahut,'' Kamu mungkin akan terpotong oleh penjepit, terbakar bersama sepotong kayu, atau membusuk seperti kayu--ada banyak kemungkinan.''

''Oh, maaf, harusnya aku tak menanyakan pertanyaan bodoh itu. Aku tahu tak satupun dapat meramal masa depannya. Kecuali kemungkinan itu sendiri, semuanya serba tak pasti.''

Sepotong kuku itu pada akhirnya hanya bisa menunggu sampai ada orang yang lebih cerdas dan tak menakutkan datang kepadanya. Benarkah kita ingin tahu takdir kita atau bahkan yang kita alami saat ini?

Nashruddin di liang lahat

Pada suatu malam, Nasruddin sedang jalan-jalan di sepanjang tempat yang sepi. Ketika dihadang oleh sepasukan kuda yang mendekatinya dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba imajinasinya mulai bekerja. Dia melihat dirinya terluka atau terampas atau terbunuh. Ditakuti pemikiran demikian dia meloncat, menaiki sebuah dinding, buru-buru masuk kuburan dan berbaring di dalam liang lahat yang terbuka. Ia bersembunyi.

Teka-teki pada perilaku Mullah yang sial itu, membuat para penunggang kuda dan pelancong mengikutinya. Mereka menemukan dia berbaring, tegang, dan menggigil.

"Apa yang terjadi? Sedang apa Anda di dalam liang kubur itu? Kami lihat Anda lari terbirit-birit. Bolehkah kami menolong Anda? Kenapa Anda berada di dalam tempat ini?"

"Karena kalian banyak mengajukan pertanyaan yang tidak perlu, maka di sana ada sebuah jawaban yang jujur," kata Nasruddin, yang kini bebas dari apa yang telah terjadi. "Semuanya tergantung pada sudut pandang kalian. Jika kalian ingin tahu sebabnya, sudah tentu aku di sini, sebab Anda ada di sini karena aku!"

Sesungguhnya cinta itu kontroversional

Sesungguhnya Cinta Itu (Tidak) Kontroversial


Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

Dakwah Islam Walisongo

 Dakwah Islam Walisanga 

Walisanga, penyebar Islam di Jawa. Para ulama itu berhasil menanamkan Islam dalam ranah tauhid, akhlak, sosial, budaya dan politik. Puncak karya gemilang mereka adalah berdirinya Kesultanan Giri, Demak, dan Cirebon, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah sufi semata yang menafikan penegakan syariat Islam.
 
 
Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tenteram dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta animisme. Mereka pun memiliki kepastian hidup, bukan karena wibawa dan perbawa Sang Sultan. Kepastian hidup ada karena disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat hukum Kesultanan Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam.

“Salokantara” dan “Jugul Muda”. Itulah dua kitab Undang-undang Demak yang menurut budayawan WS Rendra dalam sebuah orasi budaya “Megatruh”, punya landasan syariah Islam. Di hadapan peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Rakyat bukanlah abdi atau kawula sebagaimana di masa berikutnya, rezim Mataram. Sejak abad ke-17, rakyat kembali menjadi abdi, sebab kekuasaan begitu sentralistik. Malah, para raja rela ber-sembah sungkem kepada penjajah londo. Dan, syariat Islam pun hanya dijalankan setengah-setengah hingga kini, ketika para “penguasa” Jawa memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayang memang, Demak hanya bertahan sampai umur 65 tahun. Keberadaannya sebagai kerajaan dengan dasar Islam telah tercatat dalam sejarah. Dipegang-teguhnya syariat Islam sebagai pedoman hidup seluruh isi negeri Demak tak lepas dari perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan kesultanan, para ulama itu berperan sebagai tim kabinet (kayanakan) sultan. Para ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan sebutan Walisanga, wali sembilan.

Nama Walisanga begitu dekat dengan umat Islam, khususnya di Jawa. Ia menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang kebanyakan. Berbagai karya dalam bentuk tulisan, gambar, bahkan film berusaha menghidupkannya kembali. Tak ayal lagi, anak sekolah dasar pun begitu hapal sembilan tokoh dan kisah Walisanga. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (1), Sunan Ampel (2), Sunan Giri (3), Sunan Bonang (4), Sunan Kalijaga (5), Sunan Gunung Jati (6), Sunan Kudus (7), Sunan Muria (8) serta Sunan Derajat (9). Akan tetapi, menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang. Sumber kuno tersebut memuat ihwal kehidupan para ulama penyebar Islam di Jawa dan kiprah dakwahnya. Nama Walisana yang menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat ribuan wali lainnya.

Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menegakkan agama Allah.

Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali (selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh.

Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan, Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu. Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat para ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan memiliki lembaga pengadilan.

Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.

Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit.

Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di beberapa kadipaten.

Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh Rajasawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai Banh Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji. Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan Demak.

Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim (Sunan Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai mubalig keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Berikut lima wali di antaranya.

Maulana Malik Ibrahim.
Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa. Memulai dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani. Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia juga dipercaya ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan. Ibrahim pula yang dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.

Raden Ali Rahmatullah
Alias Sunan Ampel. Sang mufti dari negeri Campa ini mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali digunakan oleh Sunan Ampel. Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa Majapahit.

Raden Ainul Yaqin
Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai ilmu falak (perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Paku dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat, Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. Pesantren Giri hingga di masa Mataram menjadi Giri Kedaton yang selalu diminta untuk merestui raja-raja di sebagian wilayah Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon menyebut, Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang memberkati para kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para sultan Islam di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan saja.

Raden Makhdum Ibrahim
Atau Sunan Bonang. Ia putra sulung Sunan Ampel yang karya-karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di antaranya Suluk Bonang, Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan Bonang, bisa dibaca watak dakwah para wali, sekaligus pedoman fikih umat Islam.

Raden Syahid
Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.

Syarif Hidayatullah
Atau Sunan Gunung Jati. Nama ini acapkali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki kesultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Ia adalah salah satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Kalijaga dan Bonang. Keberadaan Syarif berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja, Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali.n (Hery D. Kurniawan/Sabili)

Sejarah Islam Indonesia

Risalah Islam Indonesia 

Muslim Indonesia punya sejarah luar biasa. Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung berdakwah di Nusantara.
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?
 
 
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.

Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.

Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.

Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.

Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan kilafah Islam di Arab kian erat.

Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.

Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.

Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.

Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.

Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.

Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.

Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.

Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.

Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.

Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.n (Oleh Herry Nurdi/Sabili)

Belajar dari shalat

Kelak di kemudian hari, kita bisa menjadi seorang Muslim berpredikat khairu ummah. Semua ini dapat terwujud andai kita mau menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari. Shalat lima waktu ternyata tidak hanya menjadi ukuran kadar keimanan seseorang, tapi juga menjadi ukuran seberapa besar seorang Muslim mampu mendisiplinkan diri. Jarak waktu shalat fardhu yang telah Allah atur sedemikian rupa adalah salah satu ukuran, dan tentu di baliknya tersimpan hikmah besar.

Ketika suara adzan berkumandang, apakah kita akan segera menghentikan aktivitas karena ingin shalat awal waktu, ataukah lebih memilih menyelesaikan pekerjaan karena merasa tanggung? Apakah kita akan bergegas pergi ke masjid karena ingin shalat berjamaah ataukah shalat munfarid (sendirian) saja pada waktu yang kita pilih? Bila memilih shalat berjamaah, apakah kita lebih suka menyempurnakan shaf yang rapat, lurus, rapi, ataukah kita meremehkan keutamaan shaf? Apapun pilihannya, semua menunjukkan kadar iman dan disiplin diri kita.

Disiplin. Inilah salah satu hikmah terpenting yang terkandung dalam shalat. Seorang Muslim akan menjadi manusia unggul bila shalatnya bermutu tinggi. Seorang Muslim yang shalatnya berkualitas, niscaya akan mampu menangkap hikmah yang amat mengesankan, yaitu hidup tertib, selalu rapi, bersih, dan disiplin. Inilah jalan menuju pribadi berkualitas yang akan menuai kemenangan dunia akhirat.

Orang yang memiliki kesanggupan untuk mendisiplinkan diri akan mampu menertibkan segala sesuatu di sekelilingnya. Caranya, dengan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ia tidak perlu lagi kehilangan banyak waktu secara percuma karena lupa letak suatu barang yang diperlukan. Pembagian waktu yang adil akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas diri. Kebiasaan hidup tertib dan disiplin pun akan menghemat waktu dari kemungkinan sia-sia.

Yang tak kalah penting dalam mengefektifkan waktu adalah selalu membuat target dan sasaran yang jelas. Lihatlah, orang-orang yang tahu bahwa kereta akan berangkat pukul 08.00 pagi pasti akan mempersiapkan diri agar tidak terlambat. Persiapan akan jauh lebih awal, perhitungan jauh lebih cermat, karena bila tertinggal kereta maka akan muncul kesulitan. Dengan membiasakan diri untuk membuat target dan sasaran yang jelas, kemampuan kita berhitung dan berbuat akan jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terbiasa memiliki target dan sasaran yang jelas.

Hikmah lain yang tercermin dari shalat yang bermutu adalah sistem. Lingkungan shalat akan melahirkan sebuah sistem unggul. Masjid adalah tempat yang dimuliakan Allah. Orang-orang yang memasuki mesjid hanyalah mereka yang mengerti arti hidup dan ingin selalu mengejar kedekatan jarak dengan Allah dan karunia-Nya.

Orang-orang yang hendak mendirikan shalat selalu dalam keadaan suci, baik secara lahir maupun secara batin, berkat siraman air wudhu. Saat shalat berjamaah dimulai, imam tampil ke depan dan menginstruksikan para makmum menyempurnakan shafnya. Para makmum pun taat tanpa membantah. Mereka dengan segera akan meluruskan, merapatkan, dan merapikan shafnya. Demikian pula ketika shalat sedang berlangsung, semua taat dan disiplin mengikuti gerakan imam sesuai dengan yang telah disyariatkan.

Mengambil hikmah dari sistem shalat, maka teman bergaul, tata tertib, serta lingkungan yang kita masuki, akan sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kita ibaratkan dengan dua ekor kupu-kupu. Yang satu masuk ke dalam mobil dan mobil pun melesat maju, sedangkan yang lainnya tidak ikut masuk ke dalam mobil, tetapi terbang dengan menggunakan sayapnya. Ukur saja dalam waktu lima menit, pasti akan tampak beda kecepatan maupun jarak yang ditempuhnya. Kupu-kupu yang terbawa mobil "terbangnya" akan lebih jauh dibanding kupu-kupu yang hanya terbang mengunakan sayapnya.

Tamsil ini mengandung arti bahwa kesanggupan kita dalam memilih lingkungan akan mempengaruhi prestasi dan kemampuan kita. Barang siapa ingin memiliki kecepatan yang baik di dalam memacu diri untuk berprestasi, maka ia harus mencari sistem, lingkungan, dan teman-teman bermutu; yang memiliki percepatan lebih baik dalam berprestasi, memiliki standar prilaku yang lebih baik, dan memiliki ilmu lebih luas. Apabila kita berhasil mendapatkan lingkungan seperti ini, insya Allah pribadi kita akan terkatrol, percepatan kita akan terus terpacu, dan prilaku kita akan semakin bermutu.

Banyak contoh sistem di masyarakat yang mampu mewarnai orang-orang yang masuk ke dalamnya. Para remaja yang masuk Akabri misalnya, selama tiga setengah tahun digodok, digembleng, dan ditempa di dalamnya, akan menunjukkan perubahan sikap yang luar biasa. Asalnya sama-sama tamatan SMA, namun karena sistem di dalamnya membuat mereka mau tidak mau harus melaksanakannya. Pagi, siang, dan malam mereka dilatih dan digembleng, harus mengerjakan berbagai aturan dan perintah yang sangat ketat, harus berdisiplin tinggi, harus memiliki ketaatan dan loyalitas yang tinggi kepada komandan, dan sebagainya.

Hasilnya pun akan segera tampak: kekuatan fisik maupun cara hidup kesehariannya jauh lebih baik, dan dalam beberapa aspek keilmuan pun jauh lebih cepat kemampuannya dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah masuk ke dalam sistem tersebut. Sistem merupakan salah satu kunci yang akan meningkatkan kualitas diri kita. Di dalam Alquran disebutkan bahwa Allah SWT menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur (QS. Ash-Shaff: 4).

Perang bagi kita adalah bertempur melawan diri sendiri, menerjang kemalasan, melumpuhkan ketidakmampuan, mengusir cara hidup yang tidak produktif dan tidak efektif, serta menundukkan hawa nafsu yang akan menggelincirkan kita ke jurang kehinaan. Kelak di kemudian hari, insya Allah kita bisa menjadi seorang Muslim berpredikat khairu ummah. Semua ini dapat terwujud andai kita mau menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a'lam bish-shawab.

Indahnya bersaing terhormat

Bismillaahirrahmanirrahiim,

Semoga Allah yang Maha Menyaksikan setiap persaingan dari mahluk-mahluknya menjadikan persaingan menjadi bagian nikmat dari Allah yang bisa membuat diri kita semakin lebih baik dan membuat kita mampu berbuat yang terbaik. Semoga Allah melindungi kita dari persaingan yang menyengsarakan, mencelakakan dan menghinakan amiin.

Pemirsa yang budiman sudah menjadi sunnatulloh bahwa siapapun yang punya keinginan dan kepentingan harus siap berjuang yang salah satunya adalah persaingan.

Negara kita adalah negara yang sarat dengan pengalaman persaingan. Kita kemarin sudah pemilu. Persaingan antar partai, di dalam partai sendiri terjadi persaingan calon anggota dewan, sesudah itu pesaingan calon presiden. Kita coba ambil persaingan di rumah siapa yang biasa bersaing di rumah, adik kakak bersaing supaya lebih di sukai orang tua, persaingan di majelis ta'lim, dan lainnya.

Yang paling berbahaya adalah jika persaingan dilakukan dengan cara yang tidak baik. Persaingan itu sendiri adalah fitrah manusiawi, kita sudah nalurinya bersaing, survival. Tetapi yang berbahaya bukan persaingannya tetapi yang berbahaya adalah niat dan cara dalam bersaing.

Di negara kita kalau bersaing tidak hati-hati dan disikapi negatif maka akan terjadi, yang pertama akan gelisah, stres, tegang, selalu mencermati pesaingnya, gelisah takut lawannya menang. Yang kedua dia cendrung licik, dia akan menghalalkan segala cara sehingga nilai dirinya akan semakin merosot demi mencapai tujuan. Misalkan ada yang ke dukun, upaya-upaya licik diantaranya dengan menghina, menyebar isu, fitnah, menyebar kejelekan, menjatuhkan dan lainnya.

Ciri khas pesaing negatif adalah dia berusaha menjatuhkan pesaingnya walaupun dengan cara yang tidak benar, menyebar isu, dan celakanya jika bersaing tidak sehat maka dia akan melihat pesaing itu sebagai musuh yang harus dia jatukan, dihancurkan, dilindas, diremukkan kalau perlu dihabisi. Akibatnya persaingan menumbuhkan kesengsaraan, kehinaan dan kedzoliman.

Biasanya orang seperti ini sangat tidak siap untuk kalah. Kalau orang caranya tidak bagus niatnya tidak benar biasanya takut sekali kalah. Kalau bersaing dengan sehat, berlomba-lomba dalam kebaikan maka dia harus melihat bahwa persaingan itu karunia Allah. Kenapa ada persaingan? Persaingan adalah karunia Allah agar kita bisa memompa kempuan kita dengan optimal. Kalau tidak ada pesaing kita tidak jadi optimal. Padahal kalau namanya keuntungan dalam islam "Man kaana Yaumuhu Khairan min amsihi fahuwa raabihun", Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia beruntung.

Siap bahwa hidup ini adalah persaingan. Siap seperti apa? Sedia payung sebelum hujan, orang yang sedia payung sebelum hujan, tidak hujan tenang, jika hujan, sudah ada payung dan juga akan tenang. Coba kalau tidak ada payung, hujan panik. Dimanapun kita berada kita siap ada pesaing. Supaya persaingan menjadi sehat, yang pertama siap, yang kedua nikmati persaingan. Sehingga begitu ada persaingan, inilah saatnya mengoptimalkan perbaikan diri saya. Maka kalau ada perlombaan, bukan perkara menang atau kalah tetapi perkara bagai mana menjadi lebih baik.

Pesaing yang tidak baik suka mendengki. Orang yang dengki senang lihat orang sengsara, dan sengsara lihat orang senang. Pendengki itu, dia yang dzolim dia yang sengsara. Yang kita butuhkan bukan kemenangan yang kita butuhkan adalah berubah menjadi lebih baik, dan ini adalah kemenangan. Oleh karena itu tetaplah bersaing dimanapun berada dengan tatapan nikmat dari Allah sebagai karunia.

Dan yang ketiga sikapi kemenangan dan kekalahan dengan sikap terhormat jadi tidak pernah kalah. Cobalah kalau kalah jangan menangis tapi tegar. Tak satupun yang tidak ada resiko. Bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal baik menurut Allah bisa jadi engkau menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi Allah, engkau tidak mengetahui apa-apa, sedang Allah Maha Mengetahui.

Kemenangan itu, kalau kita di puji langsung merendah hati, bahwa kemenangan bukan karena kehebatan diri, kemenangan bukan karena kehebatan ikhtiar, kemenangan adalah ketentuan Allah yang sudah ada sebelumnya dan ini bukan sebuah kesuksesan. Sombong itulah yang membuat menang itu jadi kalah seketika karena dia gagal mengendalikan dirinya. Tidak perlu meremehkan pesaing karena dengan adanya pesaing itulah kita menjadi sukses. Kita tidak akan hina karena dihina, kita akan menjadi hina kalau kita menghina, menang kalah itu biasa. Tidak pernah kalah orang yang biasa mengolah kekalahan dengan sikap yang terhormat, karena kemenangan adalah pengendalian diri kita dari sesuatu yang tidak Allah ridhoi, rendah hati ketika mendapat pujian dan tidak sakit hati ketika mendapat kekalahan.

Alhamdulillaahirobbil’alamin.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites